Tampilkan postingan dengan label HADIST ARBA'IN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HADIST ARBA'IN. Tampilkan semua postingan

HADIST ARBA'IN BAGIAN KE 7


  

Assalamu'alaiku.

Baik kali ini kami akan membagikan tentang HADIS'T BAGIAN KE 7. Dan isnya allah nanti selanjutnya kami akan bahas yang lain nya lagi. Semoga bermanfaat buat kalian semua khusus nya bagi yang sudah mampir ke blog saya. Terimakasih

HADITS KETUJUH

الحــديث السابع

 

عَنْ أَبِي رُقَيَّةَ تَمِيْم الدَّارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ   وَسَلَّمَ قَالَ : الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ . قُلْنَا لِمَنْ ؟ قَالَ : لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ . [رواه البخاري ومسلم]

 

 Dari Abu Ruqoyah Tamim Ad Daari radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda: Agama adalah nasehat, kami berkata: Kepada siapa?  Beliau bersabda: Kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya dan kepada pemimpan kaum muslimin dan rakyatnya. (Riwayat Bukhari dan Muslim)

 

 

 

Kandungan Hadits:

 

Agama Islam berdiri tegak di atas upaya saling menasihati, maka harus selalu saling menasihati di antara masing-masing individu muslim.

Nasihat wajib dilakukan sesuai kemampuan.

Tema hadits dan ayat yang terkait dengannya:

Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh

Kedudukan Hadits

Hadits ini sangat penting, karena mengandung seluruh agama.Yaitu mengandung hak Allah, hak rasul-Nya, dan hak hamba-Nya. Kewajiban penunaian hak-hak tersebut tekandung pada kata nasehat.

 

Lingkup Nasehat

Nasehat, pada asalnya berarti bersih dari campuran atau adanya keserasian hubungan.Pada hadits di atas, nasehat untuk umat secara umum dan para imam berarti kehendak baik dari nasih kepada mansuh, sebagaimana pengertian yang sering dipakai untuk mendefiniskan nasehat. Adapun nasehat untuk lainnya, sesuai dengan asal katanya, yaitu adanya keserasian hubungan. Dimana masing-masing memberikan hak pihak lain yang mesti ditunaikan.

 

1. Nasehat untuk Allah.

Adalah menunaikan hak Allah seperti telah tersebut pada pembahasan iman kepada Allah.

 

2. Nasehat untuk kitab-Nya.

Adalah menunaikan hak kitab-Nya Al-Qur’an, seperti, yakin bahwa Al-Qur’an kalamullah, mu’jizat terbesar diantara mu’jizat-mu’jizat yang pernah diberikan kepada para rasul, sebagai petunjuk dan cahaya. Selain itu juga membenarkan beritanya dan melaksanakan hukumnya.

 

3. Nasehat untuk Rasul-Nya.

Adalah menunaikan hak Rasulullah, seperti telah tersebut pada makna syahadat Muhammad rasulullah.

 

4. Nasehat untuk para imam.

Kata imam jika disebutkan secara mutlak maka berarti penguasa, dan adakalanya kata imam berarti ulama. Nasehat untuk para imam, meliputi imam dengan kedua arti tersebut.

 

Nasehat untuk penguasa adalah menunaikan haknya, seperti, taat dalam hal yang ma’ruf, tidak taat dalam kemaksiatan, tunduk dan tidak membangkang dan lain-lain yang merupakan hak penguasa yang telah dijelaskan dalam kitab dan sunah.

 

Nasehat untuk ulama adalah mencintai mereka karena kebaikannya dan jasanya pada umat berkat ilmunya, dan dakwahnya, menjaga kehormatan dan kewibawaannya serta menyebarkan fatwa- fatwanya.

 

5. Nasehat untuk awam kaum muslimin

adalah memberikan semua yang menjadi hak mereka demi terwujudnya maslahat dunia dan akherat mereka Semua hak-hak diatas ada yang sifatnya wajib dan ada yang sunnah.

Syarah Ibnu Daqiqil 'Ied

Tamim Ad Daari hanya meriwayatkan hadits ini, kata nasihat merupakan sebuah kata singkat penuh isi, maksudnya ialah segala hal yang baik. Dalam bahasa arab tidak ada kata lain yang pengertiannya setara dengan kata nasihat, sebagaimana disebutkan oleh para ulama bahasa arab tentang kata Al Fallaah yang tidak memiliki padanan setara, yang mencakup makna kebaikan dunia dan akhirat.

 

Kalimat, “Agama adalah Nasihat” maksudnya adalah sebagai tiang dan penopang agama, sebagaimana sabda Rasulullah, “Haji adalah arafah”, maksudnya wukuf di arafah adalah tiang dan bagian terpenting haji.

Tentang penafsiran kata nasihat dan berbagai cabangnya, Khathabi dan ulama-ulama lain mengatakan :

 

1.     Nasihat untuk Allah à maksudnya beriman semata-mata kepada-Nya, menjauhkan diri dari syirik dan sikap ingkar terhadap sifat-sifat-Nya, memberikan kepada Allah sifat-sifat sempurna dan segala keagungan, mensucikan-Nya dari segala sifat kekurangan, menaati-Nya, menjauhkan diri dari perbuatan dosa, mencintai dan membenci sesuatu semata karena-Nya, berjihad menghadapi orang-orang kafir, mengakui dan bersyukur atas segala nikmat-Nya, berlaku ikhlas dalam segala urusan, mengajak melakukan segala kebaikan, menganjurkan orang berbuat kebaikan, bersikap lemah lembut kepada sesama manusia. Khathabi berkata : “Secara prinsip, sifat-sifat baik tersebut, kebaikannya kembali kepada pelakunya sendiri, karena Allah tidak memerlukan kebaikan dari siapapun”

2.     Nasihat untuk kitab-Nya à maksudnya beriman kepada firman-firman Allah dan diturunkan-Nya firman-firman itu kepada Rasul-Nya, mengakui bahwa itu semua tidak sama dengan perkataan manusia dan tidak pula dapat dibandingkan dengan perkataan siapapun, kemudian menghormati firman Allah, membacanya dengan sungguh-sungguh, melafazhkan dengan baik dengan sikap rendah hati dalam membacanya, menjaganya dari takwilan orang-orang yang menyimpang, membenarkan segala isinya, mengikuti hokum-hukumnya, memahami berbagai macam ilmunya dan kalimat-kalimat perumpamaannya, mengambilnya sebagai pelajaran, merenungkan segala keajaibannya, mengamalkan dan menerima apa adanya tentang ayat-ayat mutasyabih, mengkaji ayat-ayat yang bersifat umum, dan mengajak manusia pada hal-hal sebagaimana tersebut diatas dan menimani Kitabullah

3.     Nasihat untuk Rasul-Nya maksudnya membenarkan ajaran-ajarannya, mengimani semua yang dibawanya, menaati perintah dan larangannya, membelanya semasa hidup maupun setelah wafat, melawan para musuhnya, membela para pengikutnya, menghormati hak-haknya, memuliakannya, menghidupkan sunnahnya, mengikuti seruannya, menyebarluaskan tuntunannya, tidak menuduhnya melakukan hal yang tidak baik, menyebarluaskan ilmunya dan memahami segala arti dari ilmu-ilmunya dan mengajak manusia pada ajarannya, berlaku santun dalam mengajarkannya, mengagungkannya dan berlaku baik ketika membaca sunnah-sunnahnya, tidak membicarakan sesuatu yang tidak diketahui sunnahnya, memuliakan para pengikut sunnahnya, meniru akhlak dan kesopanannya, mencintai keluarganya, para sahabatnya, meninggalkan orang yang melakukan perkara bid’ah dan orang yang tidak mengakui salah satu sahabatnya dan lain sebagainya.

4.     Nasihat untuk para pemimpin umat islam maksudnya menolong mereka dalam kebenaran, menaati perintah mereka dan memperingatkan kesalahan mereka dengan lemah lembut, memberitahu mereka jika mereka lupa, memberitahu mereka apa yang menjadi hak kaum muslim, tidak melawan mereka dengan senjata, mempersatukan hati umat untuk taat kepada mereka (tidak untuk maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya), dan makmum shalat dibelakang mereka, berjihad bersama mereka dan mendo’akan mereka agar mereka mendapatkan kebaikan.

5.     Nasihat untuk seluruh kaum muslim à maksudnya memberikan bimbingan kepada mereka apa yang dapat memberikan kebaikan bagi merela dalam urusan dunia dan akhirat, memberikan bantuan kepada mereka, menutup aib dan cacat mereka, menghindarkan diri dari hal-hal yang membahayakan dan mengusahakan kebaikan bagi mereka, menyuruh mereka berbuat ma’ruf dan mencegah mereka berbuat kemungkaran dengan sikap santun, ikhlas dan kasih sayang kepada mereka, memuliakan yang tua dan menyayangi yang muda, memberikan nasihat yang baik kepada mereka, menjauhi kebencian dan kedengkian, mencintai sesuatu yang menjadi hak mereka seperti mencintai sesuatu yang menjadi hak miliknya sendiri, tidak menyukai sesuatu yang tidak mereka sukai sebagaimana dia sendiri tidak menyukainya, melindungi harta dan kehormatan mereka dan sebagainya baik dengan ucapan maupun perbuatan serta menganjurkan kepada mereka menerapkan perilaku-perilaku tersebut diatas. Wallahu a’lam

Memberi nasihat merupakan fardu kifayah, jika telah ada yang melaksanakannya, maka yang lain terlepas dari kewajiban ini. Hal ini merupakan keharusan yang dikerjakan sesuai kemampuan. Nasihat dalam bahasa arab artinya membersihkan atau memurnikan seperti pada kalimat nashahtul ‘asala artinya saya membersihkan madu hingga tersisa yang murni, namun ada juga yang mengatakan kata nasihat memiliki makna lain. Wallahu a’lam

HADIST ARBA'IN BAGIAN KE 6


                                                                       الحــديث السادس

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى  الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ  لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ   مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ  أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ    [رواه البخاري ومسلم]

 

Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiallahuanhu dia berkata, Saya mendengar Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang takut terhadap syubhat berarti dia telah menyelamatkan agamanya dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki larangan dan larangan Allah adalah apa yang  Dia haramkan. Ketahuilah bahwa dalam diri ini terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh ini dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa dia adalah hati “. (Riwayat Bukhari dan Muslim)

 

Catatan:

Hadits ini merupakan salah satu landasan pokok dalam syari’at. Abu Daud berkata: Islam itu berkisar pada empat hadits, kemudian dia menyebutkan hadits ini salah satunya.

 

Kandungan Hadist :

  1. Termasuk sikap wara’ adalah meninggalkan syubhat.
  2. Banyak melakukan syubhat akan mengantarkan seseorang kepada perbuatan haram.
  3. Menjauhkan perbuatan dosa kecil karena hal tersebut dapat menyeret seseorang kepada perbuatan dosa besar.
  4. Memberikan perhatian terhadap masalah hati, karena padanya terdapat kebaikan fisik.
  5. Baiknya amal perbuatan anggota badan merupakan pertanda baiknya hati.
  6. Pertanda ketakwaan seseorang jika dia meninggalkan perkara-perkara yang diperbolehkan karena khawatir akan terjerumus kepada hal-hal yang diharamkan.
  7. Menutup pintu terhadap peluang-peluang perbuatan haram serta haramnya sarana dan cara kearah sana .
  8. Hati-hati dalam masalah agama dan kehormatan serta tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mendatangkan persangkaan buruk.

Tema-tema hadits :

  1. Penetapan halal dan haram : 2 : 275, 16 : 115, 5 : 87
  2. Menghindari syubhat: 49 : 12
  3. Kedudukan hati: 26 : 89, 16 : 106, 22 : 46

4.     Allah Maha Berkuasa (Raja) : 5 : 40 , 114 : 2


Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh

 

Kedudukan Hadits
Tentang kedudukan hadits ini sudah disebutkan pada penjelasan hadits pertama.

Musytabihat
Musytabihat adalah segala sesuatu yang belum diketahui secara jelas hukumnya, apakah termasuk halal atau termasuk haram. Mustabihat sifatnya nisbi, artinya ketidakjelasan tersebut terjadi pada sebagian orang dan tidak pada semua orang. Dengan demikian tidak ada satu pun sesuatu yang mustabihat secara mutlak, dimana semua orang tidak mengetahui kejelasan hukumnya.

Musytabihat dapat terjadi dalam 2 keadaan sebagai berikut:

1.     Ketika para ulama tawakuf tentang hukum suatu masalah.


2.     Ketika seseorang yang bukan ulama merasa tidak mengetahui secara jelas tentang hukum suatu masalah.

Dalam kedua keadaan tersebut semestinya seseorang tidak melangkah sehingga perkaranya sudah jelas, baik tatkala ulamanya sudah tidak tawakuf lagi atau sudah menanyakan kepada ahlinya.

Menghindari Mustabihat Identik dengan Menjaga Agama dan Kehormatan
Orang mukmin berkewajiban untuk memelihara agama dan kehormatannya. Kewajiban ini bisa terlaksana dengan cara menghindari Mustabihat. Hal itu karena:

1.     Dengan menghindari Mustabihat maka secara otomatis dia terhindar dari yang haram dan dengan terhindar dari yang haram terjagalah agamanya.


2.     Adakalanya orang yang tidak menghindari Mustabihat akan dianggap orang yang rendah agamanya dan tidak memiliki ketaqwaan, dengan demikian ternodailah kehormatannya. Berbeda jika dia menghindari Mustabihat maka aggapan seperti itu akan jauh darinya, dengan demikian terjagalah kehormatannya.

Menerjang Mustabihat Identik dengan Menjerumuskan Diri ke dalam Keharaman
Orang mukmin dilarang melakukan sesuatu sehingga dia mengetahui hukumnya, maka seseorang yang menerjang Mustabihat dia akan terjerumus ke dalam yang haram ditinjau dari 2 sisi sebagai berikut :

1.     Melanggar larangan, karena telah melakukan sesuatu yang belum jelas hukumnya.


2.     Bisa jadi yang dia lakukan hukumnya haram sementara dia tidak menyadarinnya karena belum jelas hukumnya.

Sesuatu yang Diperselisihkan Hukumnya Tidak Identik dengan Mustabihat.
Banyak masalah yang diperselisihkan status halal dan haramnya oleh para ulama. Tindakan menyelamatkan diri dari perbedaan ulama adalah suatu kemuliaan, namun tidak dalam seluruh masalah. Memilih pendapat yang lebih kuat, sekalipun dinilai haram oleh pihak yang lain, tidaklah termasuk menerjang Mustabihat apalagi menerjang keharaman.

Hati, Otak Dan Akal
Hati adalah tempat bersemayamnya akal dan rumah ruh. Akal adalah alat untuk memahami dan mangetahui baik-buruk dan benar-salah. Sedangkan otak adalah penyampai data kepada akal. Dengan demikian, yang bisa memahami dalil-dalil syariát adalah akal.

 

Sumber: Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh - http://muslim.or.id

Penyusun: Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam (Staf Pengajar Ma’had Ihyaus Sunnah, Tasikmalaya)


Syarah Ibnu Daqiqil 'Ied 

Hadits ini merupakan salah satu pokok syari’at Islam. Abu Dawud As Sijistani berkata, “Islam bersumber pada empat (4) hadits.” Dia sebutkan diantaranya adalah hadits ini. Para ulama telah sepakat atas keagungan dan banyaknya manfaat hadits ini.

Kalimat, “Sesungguhnya yang Halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan diantara keduanya ada perkara yang samar-samar” maksudnya segala sesuatu terbagi kepada tiga macam hokum. Sesuatu yang ditegaskan halalnya oleh Allah, maka dia adalah halal, seperti firman Allah (QS. Al-Maa’idah 5 : 5),”Aku Halalkan bagi kamu hal-hal yang baik dan makanan (sembelihan) ahli kitab halal bagi kamu” dan firman-Nya dalam (QS. An-Nisaa 4:24), “Dan dihalalkan bagi kamu selain dari yang tersebut itu” dan lain-lainnya. Adapun yang Allah nyatakan dengan tegas haramnya, maka dia menjadi haram, seperti firman Allah dalam (QS. An-Nisaa’ 4:23), “Diharamkan bagi kamu (menikahi) ibu-ibu kamu, anak-anak perempuan kamu …..” dan firman Allah (QS. Al-Maa’idah 5:96), “Diharamkan bagi kamu memburu hewan didarat selama kamu ihram”. Juga diharamkan perbuatan keji yang terang-terangan maupun yang tersembunyi. Setiap perbuatan yang Allah mengancamnya dengan hukuman tertentuatau siksaan atau ancaman keras, maka perbuatan itu haram.

Adapun yang syubhat (samar) yaitu setiap hal yang dalilnya masih dalam pembicaraan atau pertentangan, maka menjauhi perbuatan semacam itu termasuk wara’. Para Ulama berbeda pendapat mengenai pengertian syubhat yang diisyaratkan oleh Rasulullah . Pada hadits tersebut, sebagian Ulama berpendapat bahwa hal semacam itu haram hukumnya berdasarkan sabda Rasulullah, “barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya”. Barangsiapa tidak menyelamatkan agama dan kehormatannya, berarti dia telah terjerumus kedalam perbuatan haram. Sebagian yang lain berpendapat bahwa hal yang syubhat itu hukumnya halal dengan alas an sabda Rasulullah, “seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang” kalimat ini menunjukkan bahwa syubhat itu halal, tetapi meninggalkan yang syubhat adalah sifat yang wara’. Sebagian lain lagi berkata bahwa syubhat yang tersebut pada hadits ini tidak dapat dikatakan halal atau haram, karena Rasulullah menempatkannya diantara halal dan haram, oleh karena itu kita memilih diam saja, dan hal itu termasuk sifat wara’ juga.

Dalam shahih Bukhari dan Muslim disebutkan sebuah hadits dari ‘Aisyah, ia berkata : “Sa’ad bin Abu Waqash dan ‘Abd bin Zam’ah mengadu kepada Rasulullah tentang seorang anak laki-laki. Sa’ad berkata : Wahai Rasulullah anak laki-laki ini adalah anak saudara laki-lakiku.’Utbah bin Abu Waqash. Ia (‘Utbah) mengaku bahwa anak laki-laki itu adalah anaknya. Lihatlah kemiripannya” sedangkan ‘Abd bin Zam’ah berkata; “ Wahai Rasulullah, Ia adalah saudara laki-lakiku, Ia dilahirkan ditempat tidur ayahku oleh budak perempuan milik ayahku”, lalu Rasulullah memperhatikan wajah anak itu (dan melihat kemiripannya dengan ‘Utbah) maka beliau Rasulullah bersabda : “Anak laki-laki ini untukmu wahai ‘Abd bin Zam’ah, anak itu milik laki-laki yang menjadi suami perempuan yang melahirkannya dan bagi orang yang berzina hukumannya rajam. Dan wahai Saudah, berhijablah kamu dari anak laki-laki ini” sejak saat itu Saudah tidak pernah melihat anak laki-laki itu untuk seterusnya.

Rasulullah telah menetapkan bahwa anak itu menjadi hak suami dari perempuan yang melahirkannya, secara formal anak laki-laki itu menjadi anak Zam’ah. ‘Abd bin Zam’ah adalah saudara laki-laki Saudah, istri Rasulullah , karena Saudah putrid Zam’ah. Ketetapan semacam ini berdasarkan suatu dugaan yang kuat bukan suatu kepastian. Kemudian Rasulullah menyuruh Saudah untuk berhijab dari anak laki-laki itu karena adanya syubhat dalam masalah itu. Jadi tindakan ini bersifat kehati-hatian. Hal itu termasuk perbuatan takut kepada Allah SWT, sebab jika memang pasti dalam pandangan Rasulullah anak laki-laki itu adalah anak Zam’ah, tentulah Rasulullah tidak menyuruh Saudah berhijab dari saudara laki-lakinya yang lain, yaitu ‘Abd bin Zam’ah dan saudaranya yang lain.

Pada Hadits ‘Adi bin Hatim, ia berkata : “Wahai Rasulullah, saya melepas anjing saya dengan ucapan Bismillah untuk berburu, kemudian saya dapati ada anjing lain yang melakukan perburuan” Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu makan (hewan buruan yang kamu dapat) karena yang kamu sebutkan Bismillah hanyalah anjingmu saja, sedang anjing yang lain tidak”. Rasulullah memberi fatwa semacam ini dalam masalah syubhat karena beliau khawatir bila anjing yang menerkam hewan buruan tersebut adalah anjing yang dilepas tanpa menyebut Bismillah. Jadi seolah-olah hewan itu disembelih dengan cara diluar aturan Allah. Allah berfirman, “Sesungguhnya hal itu adalah perbuatan fasiq” (QS. Al-An’am 6:121)
Dalam fatwa ini Rasulullah menunjukkan sifat kehati-hatian terhadap hal-hal yang masih samar tentang halal atau haramnya, karena sebab-sebab yang masih belum jelas. Inilah yang dimaksud dengan sabda Rasulullah , “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukan kamu untuk berpegang pada sesuatu yang tidak meragukan kamu”
Sebagian Ulama berpendapat, syubhat itu ada tiga macam :

1.     Sesuatu yang sudah diketahui haramnya oleh manusia tetapi orang itu ragu apakah masih haram hukumnya atau tidak. à misalnya makan daging hewan yang tidak pasti cara penyembelihannya, maka daging semacam ini haram hukumnya kecuali terbukti dengan yakin telah disembelih (sesuai aturan Allah). Dasar dari sikap ini adalah hadits ‘Adi bin Hatim seperti tersebut diatas.


2.     Sesuatu yang halal tetapi masih diragukan kehalalannya, à seperti seorang laki-laki yang punya istri namun ia ragu-ragu, apakah dia telah menjatuhkan thalaq kepada istrinya atau belum, ataukah istrinya seorang perempuan budak atau sudah dimerdekakan. Hal seperti ini hukumnya mubah hingga diketahui kepastian haramnya, dasarnya adalah hadits ‘Abdullah bin Zaid yang ragu-ragu tentang hadats, padahal sebelumnya ia yakin telah bersuci.


3.     Seseorang ragu-ragu tentang sesuatu dan tidak tahu apakah hal itu haram atau halal, dan kedua kemungkinan ini bisa terjadi sedangkan tidak ada petunjuk yang menguatkan salah satunya. Hal semacam ini sebaiknya dihindari, sebagaimana Rasulullah pernah melakukannya pada kasus sebuah kurma yang jatuh yang beliau temukan dirumahnya, lalu Rasulullah bersabda : “Kalau saya tidak takut kurma ini dari barang zakat, tentulah saya telah memakannya”
Adapun orang yang mengambil sikap hati-hati yang berlebihan, seperti tidak menggunakan air bekas yang masih suci karena khawatir terkena najis, atau tidak mau sholat disuatu tempat yang bersih karena khawatir ada bekas air kencing yang sudah kering, mencuci pakaian karena khawatir pakaiannya terkena najis yang tidak diketahuinya dan sebagainya, sikap semacam ini tidak perlu diikuti, sebab kehati-hatian yang berlebihan tanda adanya halusinasi dan bisikan setan, karena dalam masalah tersebut tidak ada masalah syubhat sedikitpun. Wallahu a’lam.

Kalimat, “kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” maksudnya tidak mengetahui tentang halal dan haramnya, atau orang yang mengetahui hal syubhat tersebut didalam dirinya masih tetap menghadapi keraguan antara dua hal tersebut, jika ia mengetahui sebenarnya atau kepastiannya, maka keraguannya menjadi hilang sehingga hukumnya pasti halal atau haram. Hal ini menunjukkan bahwa masalah syubhat mempunyai hokum tersendiri yang diterangkan oleh syari’at sehingga sebagian orang ada yang berhasil mengetahui hukumnya dengan benar.

Kailmat, “maka barangsiapa menjaga dirinya dari yang samar-samar itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya” maksudnya menjaga dari perkara yang syubhat.


Kalimat, “barangsiapa terjerumus dalam wilayah samar-samar maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram” hal ini dapat terjadi dalam dua hal :

1.     Orang yang tidak bertaqwa kepada Allah dan tidak memperdulikan perkara syubhat maka hal semacam itu akan menjerumuskannya kedalam perkara haram, atau karena sikap sembrononya membuat dia berani melakukan hal yang haram, seperti kata sebagian orang : “Dosa-dosa kecil dapat mendorong perbuatan dosa besar dan dosa besar mendorong pada kekafiran”

2.     Orang yang sering melakukan perkara syubhat berarti telah menzhalimi hatinya, karena hilangnya cahaya ilmu dan sifat wara’ kedalam hatinya, sehingga tanpa disadari dia telah terjerumus kedalam perkara haram. Terkadang hal seperti itu menjadikan perbuatan dosa jika menyebabkan pelanggaran syari’at.


Rasulullah bersabda : “seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus kedalamnya” ini adalah kalimat perumpamaan bagi orang-orang yang melanggar larangan-larangan Allah. Dahulu orang arab biasa membuat pagar agar hewan peliharaannya tidak masuk ke daerah terlarang dan membuat ancaman kepada siapapun yang mendekati daerah terlarang tersebut. Orang yang takut mendapatkan hukuman dari penguasa akan menjauhkan gembalaannya dari daerah tersebut, karena kalau mendekati wilayah itu biasanya terjerumus. Dan terkadang penggembala hanya seorang diri hingga tidak mampu mengawasi seluruh binatang gembalaannya. Untuk kehati-hatian maka ia membuat pagar agar gembalaannya tidak mendekati wilayah terlarang sehingga terhindar dari hukuman. Begitu juga dengan larangan Allah seperti membunuh, mencuri, riba, minum khamr, qadzaf, menggunjing, mengadu domba dan sebagainya adalah hal-hal yang tidak patut didekati karena khawatir terjerumus dalam perbuatan itu.

Kalimat, “Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya” yang dimaksud adalah hati, betapa pentingnya daging ini walaupun bentuknya kecil, daging ini disebut Al-Qalb (hati) yang merupakan anggota tubuh yang paling terhormat, karena ditempat inilah terjadi perubahan gagasan, sebagian penyair bersenandung, “Tidak dinamakan hati kecuali karena menjadi tempat terjadinya perubahan gagasan, karena itu waspadalah terhadap hati dari perubahannya”
Allah menyebutkan bahwa manusia dan hewan memiliki hati yang menjadi pengatur kebaikan-kebaikan yang diinginkan. Hewan dan manusia dalam segala jenisnya mampu melihat yang baik dan buruk, kemudian Allah mengistimewakan manusia dengan karunia akal disamping dikaruniai hati sehingga berbeda dari hewan. Allah berfirman, “Tidakkah mereka mau berkelana dimuka bumi karena mereka mempunyai hati untuk berpikir, atau telinga untuk mendengar…” (QS. Al-Hajj 22:46). Allah telah melengkapi dengan anggota tubuh lainnya yang dijadikan tunduk dan patuh kepada akal. Apa yang sudah dipertimbangkan akal, anggota tubuh tinggal melaksanakan keputusan akal itu, jika akalnya baik maka perbuatannya baik, jika akalnya jelek, perbuatannya juga jelek.
Bila kita telah memahami hal diatas, maka kita bisa menangkap dengan jelas sabda Rasulullah , “Ingatlah bahwa dalam jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”.
Kita memohon kepada Allah semoga Dia menjadikan hati kita yang jelek menjadi baik, wahai Tuhan pemutar balik hati, teguhkanlah hati kami pada agama-Mu, wahai Tuhan pengendali hati, arahkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu

HADIST ARBA'IN BAGIAN KE 5

 


الحـديث الخامس

 

عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ  رَدٌّ.   [رواه البخاري ومسلم وفي رواية لمسلم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ]  

Dari Ummul Mu’minin; Ummu Abdillah; Aisyah radhiallahuanha dia berkata: Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda: Siapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya, maka dia tertolak. (Riwayat Bukhari dan Muslim), dalam riwayat Muslim disebutkan: siapa yang melakukan suatu perbuatan (ibadah) yang bukan urusan (agama) kami, maka dia tertolak).

 

Kandungan Hadist :

  1. Setiap perbuatan ibadah yang tidak bersandar pada dalil syar’i ditolak dari pelakunya.
  2. Larangan dari perbuatan bid’ah yang buruk berdasarkan syari’at.
  3. Islam adalah agama yang berdasarkan ittiba’ (mengikuti berdasarkan dalil) bukan ibtida’ (mengada-adakan sesuatu tanpa dalil) dan Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam telah berusaha menjaganya dari sikap yang berlebih-lebihan dan mengada-ada.
  4. Agama Islam adalah agama yang sempurna tidak ada kurangnya.

 

Tema-tema hadits :

  1. Kesempurnaan Islam: 5 : 3.
  2. Bid’ah dan taklid: 57 : 27, 17 : 36

 


Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh

 

Kedudukan hadits
Hadits ini sangat agung kedudukannya karena merupakan dasar penolakan terhadap seluruh bentuk bidáh yang menyelisihi syariát, baik bidáh dalam aqidah, ibadah, maupun muámalah.

Bidáh
Bidáh memiliki 2 tinjauan secara lughah dan secara syarí. Bidáh secara lughah berarti segala sesuatu yang tidak ada contoh atau tidak ada yang mendahuluinya pada masanya. Adapun bidáh secara syarí adalah seperti yang didefinisikan oleh para ulama, yaitu yang memenuhi 3 kriteria sebagai berikut:

1.     Dilakukan secara terus menerus.


2.     Baru, dalam arti tidak ada contohnya.


3.     Menyerupai syariát baik dari sisi sifatnya atau atsarnya. Dari sisi sifat maksudnya seperti sifat-sifat syariát yaitu sudah tertentu waktu, tempat, jenis, jumlah, dan tata caranya. Dari sisi atsarnya maksudnya diniati untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari pahala. Bidáh termasuk jenis Dosa Besar, karena merupakan amal kemaksiatan namun mengharapkan pahala.

Mashalihul Mursalah
Kalau seseorang tidak benar-benar memahami hakikat bidáh maka dia bisa rancu dengan sesuatu yang disebut Mashalihul Mursalah. Sepintas, antara bidáh dan Mashalihul Mursalah ada kemiripan, namun hakikatnya berbeda. Adapun perbedaannya adalah sebagai berikut :

1.     Mashalihul Mursalah terjadi pada perkara duniawi atau pada sarana (wasilah) demi penjagaan lima maqosid syariát yaitu agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal. Sementara bidáh terjadi pada ibadah atau ghayah.


2.     Mashalihul Mursalah tidak ada tuntutan untuk dikerjakan pada masa Nabi shallallaahu álaihi wa sallam, adapun bidáh tuntutan untuk dikerjakannya sudah ada pada masa Nabi shallallaahu álaihi wa sallam.

Sumber: Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh - http://muslim.or.id

Penyusun: Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam (Staf Pengajar Ma’had Ihyaus Sunnah, Tasikmalaya)

 


Syarah Ibnu Daqiqil 'Ied

 

Kata “Raddun” menurut ahli bahasa maksudnya tertolak atau tidak sah. Kalimat “bukan dari urusan kami” maksudnya bukan dari hukum kami.
Hadits ini merupakan salah satu pedoman penting dalam agama Islam yang merupakan kalimat pendek yang penuh arti yang dikaruniakan kepada Rasulullah. Hadits ini dengan tegas menolak setiap perkara bid’ah dan setiap perkara (dalam urusan agama) yang direkayasa. Sebagian ahli ushul fiqih menjadikan hadits ini sebagai dasar kaidah bahwa setiap yang terlarang dinyatakan sebagai hal yang merusak.

Pada riwayat imam muslim diatas disebutkan, “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak” dengan jelas menyatakan keharusan meninggalkan setiap perkara bid’ah, baik ia ciptakan sendiri atau hanya mengikuti orang sebelumnya. Sebagian orang yang ingkar (ahli bid’ah) menjadikan hadits ini sebagai alas an bila ia melakukan suatu perbuatan bid’ah, dia mengatakan : “Bukan saya yang menciptakannya” maka pendapat tersebut terbantah oleh hadits diatas.

Hadits ini patut dihafal, disebarluaskan, dan digunakan sebagai bantahan terhadap kaum yang ingkar karena isinya mencakup semua hal. Adapun hal-hal yang tidak merupakan pokok agama sehingga tidak diatur dalam sunnah, maka tidak tercakup dalam larangan ini, seperti menulis Al-Qur’an dalam Mushaf dan pembukuan pendapat para ahli fiqih yang bertaraf mujtahid yang menerangkan permasalahan-permasalahan furu’ dari pokoknya, yaitu sabda Rosululloh . Demikian juga mengarang kitab-kitab nahwu, ilmu hitung, faraid dan sebagainya yang semuanya bersandar kepada sabda Rasulullah dan perintahnya. Kesemua usaha ini tidak termasuk dalam ancaman hadits diatas.Wallahu a’lam

SYARAH HADIST ARBA'IN BAGIAN KE 1



BAGIAN KE 1
الحــديث الأول
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ. [رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وأبو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة]

Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khattab radhiallahuanhu, dia berkata, "Saya mendengar Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.
(Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaaburi di dalam dua kitab Shahih, yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang).
  

Catatan:
1.     Hadits ini merupakan salah satu dari hadits-hadits yang menjadi inti ajaran Islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi’i berkata: Dalam hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu. Sebabnya adalah bahwa perbuatan hamba terdiri dari perbuatan hati, lisan dan anggota badan, sedangkan niat merupakan salah satu bagian dari ketiga unsur tersebut. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa dia berkata," Hadits ini mencakup tujuh puluh bab dalam fiqh. Sejumlah ulama bahkan ada yang berkata," Hadits ini merupakan sepertiga Islam.
2.     Sebab dituturkannya hadits ini, yaitu: ada seseorang yang hijrah dari Mekkah ke Madinah dengan tujuan untuk dapat menikahi seorang wanita yang konon bernama: “Ummu Qais” bukan untuk meraih pahala berhijrah. Maka orang itu kemudian dikenal dengan sebutan “Muhajir Ummi Qais” (Orang yang hijrah karena Ummu Qais).
 
Kandungan Hadist:
1.     Niat merupakan syarat layak/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan menghasilkankan pahala kecuali berdasarkan niat (karena Allah ta’ala).
2.     Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati.
3.     Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah ta’ala dituntut pada semua amal shaleh dan ibadah.
4.     Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya.
5.     Semua perbuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari keridhaan Allah maka dia akan bernilai ibadah.
6.     Yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.
7.     Hadits di atas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman karena dia merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.
 Tema-tema hadits:
1.     Niat dan keikhlasan : 7 : 29 , 98 : 5
2.     Hijrah : 4 : 97, 2 : 218, 3 : 195, 8 : 72
3.     Fitnah dunia : 3 : 145, 4 : 134, 6 : 70, 8 : 67


Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh


Kedudukan Hadits
Materi hadits pertama ini merupakan pokok agama. Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Ada Tiga hadits yang merupakan poros agama, yaitu hadits Úmar, hadits Aísyah, dan hadits Nu’man bin Basyir.” Perkataan Imam Ahmad rahimahullah tersebut dapat dijelaskan bahwa perbuatan seorang mukallaf bertumpu pada melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Inilah halal dan haram. Dan diantara halal dan haram tersebut ada yang mustabihat (hadits Nu’man bin Basyir). Untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan dibutuhkan niat yang benar (hadits Úmar), dan harus sesuai dengan tuntunan syariát (hadits Aísyah).
Setiap Amal Tergantung Niatnya
Diterima atau tidaknya dan sah atau tidaknya suatu amal tergantung pada niatnya. Demikian juga setiap orang berhak mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya dalam beramal. Dan yang dimaksud dengan amal disini adalah semua yang berasal dari seorang hamba baik berupa perkataan, perbuatan maupun keyakinan hati.
Fungsi Niat
Niat memiliki 2 fungsi:
1.     Jika niat berkaitan dengan sasaran suatu amal (ma’bud), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara amal ibadah dengan amal kebiasaan.
2.     Jika niat berkaitan dengan amal itu sendiri (ibadah), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara satu amal ibadah dengan amal ibadah yang lainnya.
Pengaruh Niat yang Salah Terhadap Amal Ibadah
Jika para ulama berbicara tentang niat, maka mencakup 2 hal:
1.     Niat sebagai syarat sahnya ibadah, yaitu istilah niat yang dipakai oleh fuqoha’.
2.     Niat sebagai syarat diterimanya ibadah, dengan istilah lain: Ikhlas.
Niat pada pengertian yang ke-2 ini, jika niat tersebut salah (tidak Ikhlas) maka akan berpengaruh terhadap diterimanya suatu amal, dengan perincian sebagai berikut:
a.     Jika niatnya salah sejak awal, maka ibadah tersebut batal.
b.     Jika kesalahan niat terjadi di tengah-tengah amal, maka ada 2 keadaan:
·         Jika ia menghapus niat yang awal maka seluruh amalnya batal.
·         Jika ia memperbagus amalnya dengan tidak menghapus niat yang awal, maka amal tambahannya batal.
c.      Senang untuk dipuji setelah amal selesai, maka tidak membatalkan amal.
Beribadah dengan Tujuan Dunia
Pada dasarnya amal ibadah hanya diniatkan untuk meraih kenikmatan akhirat. Namun terkadang diperbolehkan beramal dengan niat untuk tujuan dunia disamping berniat untuk tujuan akhirat, dengan syarat apabila syariát menyebutkan adanya pahala dunia bagi amalan tersebut. Amal yang tidak tercampur niat untuk mendapatkan dunia memiliki pahala yang lebih sempurna dibandingkan dengan amal yang disertai niat duniawi.
Hijrah
Makna hijrah secara syariát adalah meninggalkan sesuatu demi Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah artinya mencari sesuatu yang ada disisi-Nya, dan demi Rasul-Nya artinya ittiba’ dan senang terhadap tuntunan Rasul-Nya.
Bentuk-bentuk Hijrah:
1.     Meninggalkan negeri syirik menuju negeri tauhid.
2.     meninggalkan negeri bidáh menuju negeri sunnah.
3.     Meninggalkan negeri penuh maksiat menuju negeri yang sedikit kemaksiatan.
Ketiga bentuk hijrah tersebut adalah pengaruh dari makna hijrah.



Sumber: Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh - http://muslim.or.id
Penyusun: Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam (Staf Pengajar Ma’had Ihyaus Sunnah, Tasikmalaya)





Syarah Ibnu Daqiqil 'Ied

Hadits ini adalah Hadits shahih yang telah disepakati keshahihannya, ketinggian derajatnya dan didalamnya banyak mengandung manfaat. Imam Bukhari telah meriwayatkannya pada beberapa bab pada kitab shahihnya, juga Imam Muslim telah meriwayatkan hadits ini pada akhir bab Jihad.

Hadits ini salah satu pokok penting ajaran islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi’I berkata : “Hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu.” Begitu pula kata imam Baihaqi dll. Hal itu karena perbuatan manusia terdiri dari niat didalam hati, ucapan dan tindakan. Sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian itu. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i, “Hadits ini mencakup tujuh puluh bab fiqih”, sejumlah Ulama’ mengatakan hadits ini mencakup sepertiga ajaran islam.

Para ulama gemar memulai karangan-karangannya dengan mengutip hadits ini. Di antara mereka yang memulai dengan hadits ini pada kitabnya adalah Imam Bukhari. Abdurrahman bin Mahdi berkata : “bagi setiap penulis buku hendaknya memulai tulisannya dengan hadits ini, untuk mengingatkan para pembacanya agar meluruskan niatnya”.

Hadits ini dibanding hadits-hadits yang lain adalah hadits yang sangat terkenal, tetapi dilihat dari sumber sanadnya, hadits ini adalah hadits ahad, karena hanya diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Dari Umar hanya diriwayatkan oleh ‘Alqamah bin Abi Waqash, kemudian hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim At Taimi, dan selanjutnya hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id Al Anshari, kemudian barulah menjadi terkenal pada perawi selanjutnya. Lebih dari 200 orang rawi yang meriwayatkan dari Yahya bin Sa’id dan kebanyakan mereka adalah para Imam.

Pertama : Kata “Innamaa” bermakna “hanya/pengecualian” , yaitu menetapkan sesuatu yang disebut dan mengingkari selain yang disebut itu. Kata “hanya” tersebut terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian secara mutlak dan terkadang dimaksudkan sebagai pengecualian yang terbatas. Untuk membedakan antara dua pengertian ini dapat diketahui dari susunan kalimatnya.
Misalnya, kalimat pada firman Allah : “Innamaa anta mundzirun” (Engkau (Muhammad) hanyalah seorang penyampai ancaman). (QS. Ar-Ra’d : 7)
Kalimat ini secara sepintas menyatakan bahwa tugas Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam hanyalah menyampaikan ancaman dari Allah, tidak mempunyai tugas-tugas lain. Padahal sebenarnya beliau mempunyai banyak sekali tugas, seperti menyampaikan kabar gembira dan lain sebagainya. Begitu juga kalimat pada firman Allah : “Innamal hayatud dunyaa la’ibun walahwun” à “Kehidupan dunia itu hanyalah kesenangan dan permainan”. (QS. Muhammad : 36)
Kalimat ini (wallahu a’lam) menunjukkan pembatasan berkenaan dengan akibat atau dampaknya, apabila dikaitkan dengan hakikat kehidupan dunia, maka kehidupan dapat menjadi wahana berbuat kebaikan. Dengan demikian apabila disebutkan kata “hanya” dalam suatu kalimat, hendaklah diperhatikan betul pengertian yang dimaksudkan.

Pada Hadits ini, kalimat “Segala amal hanya menurut niatnya” yang dimaksud dengan amal disini adalah semua amal yang dibenarkan syari’at, sehingga setiap amal yang dibenarkan syari’at tanpa niat maka tidak berarti apa-apa menurut agama islam. Tentang sabda Rasulullah, “semua amal itu tergantung niatnya” ada perbedaan pendapat para ulama tentang maksud kalimat tersebut. Sebagian memahami niat sebagai syarat sehingga amal tidak sah tanpa niat, sebagian yang lain memahami niat sebagai penyempurna sehingga amal itu akan sempurna apabila ada niat.

Kedua : Kalimat “Dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya” oleh Khathabi dijelaskan bahwa kalimat ini menunjukkan pengertian yang berbeda dari sebelumnya. Yaitu menegaskan sah tidaknya amal bergantung pada niatnya. Juga Syaikh Muhyidin An-Nawawi menerangkan bahwa niat menjadi syarat sahnya amal. Sehingga seseorang yang meng-qadha sholat tanpa niat maka tidak sah Sholatnya, walahu a’lam

Ketiga : Kalimat “Dan Barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya” menurut penetapan ahli bahasa Arab, bahwa kalimat syarat dan jawabnya, begitu pula mubtada’ (subyek) dan khabar (predikatnya) haruslah berbeda, sedangkan di kalimat ini sama. Karena itu kalimat syarat bermakna niat atau maksud baik secara bahasa atau syari’at, maksudnya barangsiapa berhijrah dengan niat karena Allah dan Rosul-Nya maka akan mendapat pahala dari hijrahnya kepada Allah dan Rosul-Nya.

Hadits ini memang muncul karena adanya seorang lelaki yang ikut hijrah dari Makkah ke Madinah untuk mengawini perempuan bernama Ummu Qais. Dia berhijrah tidak untuk mendapatkan pahala hijrah karena itu ia dijuluki Muhajir Ummu Qais. Wallahu a’lam